Sekitar satu semester yang lalu, saya mulai kepikiran untuk apply exchange keluar negeri. Hal ini terinspirasi dari banyaknya teman-teman dan kerabat baik setingkat maupun yang diatas saya berpengalaman studi di luar negeri. Biasanya berupa short course, summer course, research, summit, volunteer, conference, dan masih banyak lagi macamnya. Dari semua model exchange ini yang paling sering saya coba apply adalah short course, summit, dan conference. Ketika itu saya masih aktif di semester 4 jadi gak berani ambil exchange yang jangka waktunya berbulan-bulan sampai harus cuti. Karena kalau nilai mata kuliah dari sana bisa ditransfer ke Indonesia ya Alhamdulilah. Kalau tidak, berarti kita harus menambah satu semester lagi yang artinya harus extend kuliah. Bisa jadi panjang waktu kuliahnya lebih dari 4 tahun. Bagi kamu yang sudah strik di awal mau lulus 4 tahun saja, program ini tidak sebaiknya kamu ambil. Jadi ambil yang jangka waktunya cuma sehari, dua hari, atau paling lama semingguan aja ya.
Lanjut ya, jadi waktu itu pertama kali saya apply exchange, saya memilih exchange yang jauh sekalian hehe. Melatih mental juga saya pikir, ke suatu negara di Eropa Barat. Kemudian saya cerita ke mama dan responnya cukup mengejutkan “aduh gak usah lah dek, jauh kali loh itu”. padahal belum pergi dan belum tentu diterima juga. Dari dulu mama memang selalu penuh kekhawatiran tentang saya. Beruntungnya waktu memilih kuliah di UGM, mama gak begitu protes, walaupun beliau sendiri tahu saya bakalan tinggal 4 tahun jauh dari dia. Setelah saya beritahu bahwa proposal beasiswa saya diterima Dikti, beliau pun semakin memperbolehkan saya kuliah jauh dari rumah.
Oke lanjut lagi, jadi waktu itu saya apply sebuah program short course dari Eropa. Temanya terkait dengan pembangunan infrastruktur dan berlokasi di Belgia. Waktu itu saya pikir tinggal membuat essay tentang inovasi di bidang infrastruktur mah gampang lah. ibaratnya mainan sehari-hari di kampus, karena dosen sering banget kasih tugas paper, essay, makalah, kliping tentang ini. Walaupun rada sombong emang waktu itu. Sampai akhirnya satu minggu kemudian saya dapat sebuah email dari panitia dan mengabarkan bahwa saya TIDAK LOLOS, dengan alasan yang spesifik yaitu “tema yang saya angkat kurang relevan dengan pembangunan strategis yang mereka mau”. Grrr, hayoloh, belajar sehari-hari di kelas tidak menjamin kamu sudah ahli. Dari sini saya mulai belajar untuk memahami konteks tema yang mereka mau. Ditambah lagi bahwa program ini fully funded, pasti lah saya beradu dengan ribuan orang lainnya di seluruh dunia.
Gagal di exchange pertama, saya lanjut ke exchange program berikutnya. Masih dengan tipe dan panitia yang sama, yaitu program short course fully funded dari Eropa. Tapi kali ini berbeda tema yaitu tentang sustainable tourism. Berlokasi di Croatia dan Slovenia di Eropa Timur. Tapi gak bilang-bilang mama dulu. Pasti ujung-ujungnya gak dibolehin. Lagian belum tentu diterima juga. Satu minggu kemudian saya dapat email bahwa saya lagi-lagi DITOLAK dengan alasan yang lebih halus “paper yang saya buat cukup menarik dan kompetitif, tapi panitia harus memprioritaskan dari kelompok peneliti atau pekerja di bidang pariwisata terlebih dahulu”. Hmm.. padahal kalau mau bilang paper saya jelek mah ya bilang aja kali mbak 🙁
well, exchange program yang sebut di atas itu diinisiasi dari Asef-Europe Foundation (http://www.asef.org/)
kalau mau cari-cari informasi exchange fully funded ke Eropa bisa dilihat disitu ya.
Terus selanjutnya saya masih penasaran, saya cari informasi student exchange yang lain. Ketemu program exchange jenis yang lain yaitu international summit. Kali ini balik lagi ke Eropa Barat tepatnya di Paris. Waktu itu temanya tentang SDG. Kemudian saya menulis tentang infrastruktur perumahan yang safe, resilience, sustainable, dan affordable. Ini juga program fully funded. Kenapa saya cari yang gratisan? ya biar gak keluarin duit intinya. Hehe mental gratisan. Tapi enggak gratisan kok sebenarnya, karena ada yang kamu jual yaitu “pemikiran, ide, gagasan”. Mereka cuma kasih slot gak begitu banyak, sekitar 30 peserta saja dari seluruh dunia untuk dibayarin fully funded. Jadi menunggu pengumuman ini lumayan lama juga. Sampai akhirnya di suatu malam, jreng jreng … saya dapat email bahwa saya LOLOS menjadi salah satu peserta dari ribuan pendaftar. Masyaaallah bukan main bahagianya. Sampai gak berhenti buat bersyukur. Karena kapan lagi coba bisa ke Paris. Kota idaman semua umat. Gratis pula (saya pikir).
Tapi, ada satu hal yang tidak saya duga, keesokan harinya saya dapat email bahwa panitia punya kebijakan baru dimana tahun lalu pernah ada kejadian bahwa peserta international summit yang lolos didanai 100% tiba-tiba membatalkan secara sepihak. Akhirnya tiket pesawat pp dan hotel yang sudah di booking jadi hangus. untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, panitia meminta deposit yang akan dimasukkan sebagai biaya pendaftaran member di komunitas international youth summit. gak tanggung-tanggung, dikasih waktu lima hari untuk transfer uang yang waktu itu kalau dirupiahkan dari USD ke IDR kurang lebih belasan juta. mereka meminta konfirmasi secepatnya karena bila tidak, saya didiskualifikasi dan diganti dengan peserta lain yang sudah disiapkan dalam waiting list.
gagal lagi deh ……
ya jelas gagal, karena saya sudah komit untuk tidak membebani orang tua saya dengan program yang ingin saya jalani. Apalagi dengan jumlah belasan juta dalam waktu dekat itu cukup memberatkan yang jelas. saya pun berani untuk mengajukan proposal sebenarnya ke universitas atau instansi, tapi dalam tempo waktu sedekat itu tentu tidak ada yang mau ACC proposal saya. Terlalu mendesak.
Kalau mau tau, program summit ini diinisiasi oleh International Youth Committee, bisa diakses disini informasinya (http://iyc.org.in/)
Oke, kemudian lanjut ke exchange yang lain. Kali ini saya mengintai yang dekat-dekat saja. Yaitu di Asia Tenggara. Kurang dekat apalagi coba. Kali ini berupa conference yang diadakan oleh International Global Network, namanya Asia Youth International Model United Nation (AYIMUN) di Bangkok, Thailand. Biasanya lomba ini sering diikuti mahasiswa dari jurusan Hubungan International karena terkait dengan upaya negosiasi dan diplomasi. Saya dari fakultas teknik memang lebih menyukai hal-hal yang bersifat seperti ini daripada ilmu yang benar-benar teknis (gak jago soalnya wkwk).
Mungkin karena self funded, jadi kuotanya banyak sampai 3000 peserta. dan alhamdulilah saya diterima jadi salah satunya. waktu pengumumannya sekitar 1 bulan dari jadwal pembayaran terakhir. Tapi walaupun dekat, nominalnya cukup besar juga. kalau ditotal, kurang lebih sama dengan program sebelumnya bisa sampai belasan juta rupiah. Karena masih ada waktu, saya coba cari sponshorship. Saya apply ke dua instansi daerah dan dua perusahaan swasta. dua perusahaan swasta menolak memberikan saya dana pertama karena jangka waktunya yang terlalu mepet (sebaiknya kalau mengirim proposal harus H-2 bulan atau H-1 bulan. waktu itu saya H-2 minggu baru kirim proposal. Alasan lainnya karena saya apply program secara individu. Lebih baik kalau mencari sponsorship itu a.n kelompok/komunitas. Biasanya lebih dipercaya. Sementara 2 instansi daerah, tidak ada kabar 🙁
Nah kalau mau tau informasinya, bisa dilihat disini ya (https://modelunitednation.org/)
selanjutnya nanti saya sharing tentang penulisan proposal sponsorship di blog ini beserta alamat-alamat komunitas atau perusahaan ternama yang biasanya menerima sponsorship.
Yaaaa, jadi begitulah pengalaman gagal saya mengikuti exchange. Alhasil, belum ada satupun exchange yang berhasil saya ikuti. Tapi, itu sama sekali gak menyurutkan niat saya untuk mengikuti program-program exchange yang lain di kesempatan berikutnya. Selama masih ada keinginan dan berbekal pengalaman, insyaallah masih ada jalan. Yang penting tetap antusias untuk belajar, belajar, dan belajar.
the last,
“apa yang ditakdirkan untuk kamu, tidak akan jadi milik orang lain”
– Trika
Leave a Reply